Langsung ke konten utama

Bahayanya Latah Istilah Musik (Demi Pasar), Dari Indie Hingga Jazz!

Saat ini sedang ramai festival jazz yang "kurang" jazz. Bisa jadi ini puncak dari kelatahan dari istilah musik yang diungkapkan beberapa musisi top atas Indonesia. Sebenarnya kelatahan istilah musik tidak hanya terjadi baru-baru ini. Kelatahan ini sudah berlangsung lama dan tidak hanya istilah "Jazz" belaka.

Untuk istilah musik yang sering disalahartikan adalah akord dan kunci. Saya sudah menulis tentang perbedaan ini, dan masih banyak sekali orang yang belum bisa membedakannya. Bahkan masih ada youtube channel yang memberikan tutorial masih salah dalam menggunakan istilah yang tepat.  

Buat kamu yang belum baca tentang bedanya akord dan kunci, bisa baca disini

Tidak hanya itu, masih ada juga istilah-istilah lain yang bisa jadi salah arti yang sering diungkapkan oleh orang-orang yang merasa tahu tapi sebenarnya tidak bisa mempertanggung jawabkan pernyataannya. 

Mungkin kamu pernah tahu tentang bakpia kukus? ya dengan membawa nama bakpia dan embel-embel oleh-oleh Jogja sebenarnya secara bentuk dan rasanya jauh sekali dengan bakpia yang original. Menurut saya ini juga sudah aneh....

Balik lagi ke musik.

Ketika saya pernah mengisi sebuah acara reguler tentang membahas musik indie, ternyata begitu banyak yang salah kaprah tentang arti dari musik indie itu sendiri. Bisa dilihat dari respon para pendengar radio. Tidak hanya itu, istilah indie itu sendiri yang bisa kita rasakan dari media-media iklan dan penggunakan ke hal lain yang tidak sesuai.

Yang pasti musik indie adalah salah satu genre musik, bukan hanya musik yang diproduksi sendiri dan dipasarkan sendiri. Untuk bahasan musik indie sendiri bisa sangat luas. Hal ini saya akan membahas di postingan lainnya.

Kembali ke kasus istilah tadi ketika kata "indie" sendiri dipergunakan untuk hal lain demi merebut pasar tanpa memaknai lebih dalam istilah tersebut lebih dalam maka akan ada pergeseran arti dan nilai. Begitu juga dengan istilah musik Jazz. Ketika sebuah acara dilabeli Jazz tentu saja harapan kita sudah terbiasa mendengar musik Jazz tentu ketika datang ke acara tersebut berharap mendengarkan dengan menonton musik-musik jazz tune seperti di lagu-lagu standard jazz.

Pastinya kecewa jika sebuah acara dengan label jazz berisi musisi dengan histori musik yang tidak pernah dikenal dengan karya jazznya. 

Lalu kenapa hal ini terjadi, banyak hal yang bisa mempengaruhi. Yang jelas karena latah, dan yang kedua karena pasar (baca: keuntungan). Saya memang bukan musisi Jazz, tapi saya juga pernah belajar Jazz murni dengan gitaris jazz asal Belanda.

Pada saat itu pun (2011) guru saya yang memang murni pemain Jazz sudah mengkritik habis-habisan, bahwa acara festival jazz terbesar di Indonesia saja tidak "ngejazz". Dan dengan ini pun saya bisa bilang lagu-lagu dari Kahitna, Ari Lasso, Yura Yunita atau JKT48 jelas-jelas tidak bergenre Jazz.

Bukan hanya penyelenggara saya yang saya kritik, namun yang cukup menyedihkan adalah mereka yang bukan musisi Jazz tersebut tetap mengambil bagian dari sebuah event Jazz. Dengan catatan, kelatahan ini tidak hanya di ranah musik Jazz yang sedang ramai saat ini. Namun juga di genre musik yang lain.

Menurut saya pola pikir yang pentingkan acara jalan, ekonomi berputar, musisi dibayar. Menjadi pola pikir yang cukup dangkal. Maka tidak heran hal-hal yang dulunya menjadi sebuah kebenaran lama-lama memudar karena dianggap "tidak menyakiti". Namun tanpa sadar kerusakan dari esensi (makna dari) genre musik akan merusak pendidikan musik dan budaya itu sendiri.

Bagaimana menurut kamu?


Semoga bermanfaat.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu Lick, Riff, Pattern?

Belajar musik sebenarnya mirip dengan bahasa Indonesia. Prinsip tentang pengenalan lick, riff dan pattern . Jika dalam bahasa Indonesia, Inggris atau bahasa apapun kita mengenal adanya huruf, begitu juga dengan musik, kita mengenal nada. Dari nada-nada yang tersusun ini bisa membentuk sesuatu yang dinamakan lick , riff dan pattern . Namun ketiganya berbeda. Dari identifikasi ketiganya dapat berfungsi dalam pengembangan permainan solo, melody, hingga pencipataan lagu. Pattern disebut juga dengan motif, jika didalam bahasa Indonesia/Inggris sebuah huruf yang terangkai bisa menjadi sebuah kata. Contoh kata "aku", sedangkan di musik, 2 atau 3 nada saja bisa menjadi sebuah motif atau pattern , semisal, do - mi - sol,  re - mi - do, atau mi - fa - sol - do. Ibarat kalimat pada bahasa Indonesia/Inggris, riff adalah kalimat di lagu, penggabungan dari 2 motif ( pattern ) atau lebih, biasanya riff terbentuk dari 1 hingga dua bar. Penciptaan riff ini sendiri biasanya penge...

Membedakan Teknik Apoyando dan Tirando

2 teknik dasar pada permainan gitar klasik adalah apoyando dan tirando. Dua teknik ini menjadi acuan yang biasanya di latih pada berbagai scale. Namun ada beberapa hal yang saya cermati dari dua teknik ini. Pada sebuah piece kebanyakan para gitaris lebih banyak menggunakan teknik tirando dikarenakan notes yang di mainkan dalam satu ketukan lebih dari dua nada. Tapi sebelum lebih jauh, saya akan menggambarkan secara sederhana yang membedakan dua teknik ini. Apoyando disebut juga rest stroke . Artinya ketika jari tangan kanan memetik senar, misal dengan jari i (telunjuk) maka jari setelah memetik senar akan menempel pada senar di atasnya (beristirahat/ rest ). Contoh, ketika jari memetik senar 1, setelah memetik jari akan beristirahat di senar 2. Jika senar 2 dipetik maka setelah memetik, jari akan beristirahat di senar 3, begitu seterusnya. Teknik ini banyak di gunakan pada single note , atau berfungsi memberikan accent atau tekanan untuk melodi tertentu. Lain hal dengan tekni...

Yang Mengakibatkan Kemampuan Bermusik Mandeg Bahkan Turun

Pernah mikir gak sih? Udah belajar gitar lama, tapi kaya gitu-gitu aja! Terus nonton permainan gitaris lain di Youtube atau Instagram, lalu beropini wah mereka itu berbakat sekali ya, dan lain-lainnya. Ujung-ujungnya (ekstremnya) merasa gak guna latihan yang dilakuin selama ini hingga berhenti main gitar. Apa sih yang sebenernya terjadi? Kita mulai dengan membandingkan dengan apa yang kita lihat. Padahal apa yang kita lihat belum tentu sebuah kebenaran. Misal kamu sedang nonton postingan orang lain yang main gitarnya keren banget di Instagram ataupun di youtube. Pastinya yang tidak terlihat dalam video itu adalah berapa lama proses dia dalam menguasai permainan gitar tersebut dan berapa kali dia harus "take" video" tersebut.  Yah walaupun take video yang hanya berdurasi semenit itu belum tentu benar-benar semenit. Bisa jadi memang semenit tapi bisa juga dia baru puas pada hasil videonya setelah puluhan take . Hal membandingkan tadi bisa jadi seperti penyakit yang tidak ...