Pagi itu seperti biasanya saya duduk-duduk di ruang tamu ditemani dengan secangkir kopi hangat. Matahari yang cerah menerpa lantai teras yang hangat nya terasa hingga ke ruang tamu. Sisa udara malam yang dingin bercampur dengan sinar nya matahari yang hangat benar-benar membuat pagi yang sempurna. Tidak hanya itu, banyak hal yang membuatnya lebih sempurna bagiku.
Kumainkan gitar akustikku satu dua lagu, suaranya padat, utuh, crunchy, dan yang membuatku heran adalah menyentuh hati, bukan karena saya memainkan karya masterpiece gran valsnya tarrega ataupun all you need is lovenya the beatles. Kusandarkan kembali gitarku dikursi, kupandangi, dan kembali kumainkan, dan ini membuatku tersenyum.
Saya jadi teringat pertama kali memesannya pada seorang luthier lokal (Yogyakarta), Pak Hadi namanya.
"mas, saya ada kayu bagus", pak hadi menawarkan
"kayu apa pak?" jawab saya
"kayu spruce mas" sambil menunjukkan 2 pasang kayu spruce bookmark (1 kayu yang dibelah jadi 2 yang bisa menghasilkan efek mirror jika digabungkan).
Saya tau apa artinya ini, saya belum pernah punya gitar dengan kayu solid spruce. Kayu spruce sendiri biasa dipakai untuk gitar-gitar akustik jenis klasik ataupun folk.
"bagus pak?" tanya saya
"istimewa mas"
"berapa harganya pak?"
Pak hadi menjelaskan jika kayu spruce sendiri memang agak mahal, dan beliau memberikan rincian biayanya untuk membuat satu gitar akustik zianturi.
Saya menyetujuinya. Esok hari nya saya datang kembali dengan membawa uang tanda jadi dan memberika detail gitarnya. Satu tahun kemudian gitar itu sudah bisa saya mainkan tepat pada sebuah acara akustik. Agak lama memang sampai gitar tersebut siap saya bawa pulang, tapi kondisi saya saat itu memang tidak terburu-buru (alias masih mengumpulkan dana...hehe).
Pada penampilan perdana gitar akustik saya yang ujung-ujungnya saya beri nama Lucy sangat memuaskan. Saya pasangkan senar darco ukuran 10, dan menghasilkan suara yang lebih bright. Sebelum acara dimulai, kebetulan teman saya juga ikutan perform pada acara itu. Dia melihat gitar saya. "ini gitarnya nya ya? yang pakai kayu spruce itu?" tanyanya. Saya mengangguk. "coba saja" tawar saya.
Dia mencobanya dua tiga lagu. "wah beda ya, enak dan nyaman banget, kaya gak mau lepas ini gitar" komentar dia. Saya hanya tersenyum bangga. Ujung-ujungnya, dia meminjam gitar saya untuk performnya malam itu.
Dua bulan pemakaian saya sudah menggunakannya buat recording. Dan saatnya mengganti senarnya, saya ganti senarnya dengan elixir nanoweb ukuran 12, mahal, tapi senar ini bisa long lasting. Saya coba dengan ukuran 12 untuk memperkuat tone dan suara bass punch nya lebih terasa. Saya bawa ke bengkel zianturi dan men setting necknya untuk disesuaikan dengan tegangan senar yang baru. Ternyata hasil lebih baik, suara jadi lebih maksimal, tone jadi kuat, bass mid dan treble lebih seimbang.
Lucy jadi andalan gitar andalan saya untuk murid-murid saya yang sedang belajar gitar dengan saya, baik kursus privat gitar akustik maupun kursus gitar elektrik. Dikarenakan lebih banyak murid saya yang les privat gitar dengan saya belajar gitar akustik dibanding elektrik, maka gitar akustik ini menjadi solusi. Dan kendala yang ditemui pada gitar akustik biasanya ketidak nyamanan intrumen gitar itu sendiri dikarena action pada gitar nya terlalu tinggi. (action=jarak senar dengan fret ke-12 yang terlalu tinggi). Sedangkan di gitar saya walaupun saya pasangi dengan ukuran 12 tidak jadi masalah bagi murid saya yang baru belajar gitar akustik.
Suatu kali seorang teman berkunjung kerumah. Dia juga seorang musisi. Gitaris juga. setelah berbincang-bincang sore itu, akhirnya dia melihat gitar saya yang baru, si Lucy. Dan mencobanya. Namun lucunya, teman saya ini tidak memainkan satu lagu penuh melainkan hanya memainkan satu akord berhenti diikuti dengan kata "bajigur" dari mulutnya, lalu kembali memainkan akord yang lain dan lagi-lagi diikuti kata "bajigur". Bajigur disini bukan berarti jenis minuman. Bajigur bagi orang jogja 'terkadang' sebagai umpatan atau bisa jadi pujian.
Contoh lainnya jika seseorang (jogja/jawa) menonton sebuah pertunjukan, dan orang tersebut mengapresiasikan takjub dengan kata "edan, apik tenan", Jika diartikan menjadi "Gilak, bagus sekali". Umpatan tadi jadi berganti arti sebagai pujian, dikarenakan orang-orang berpikir tak ada kata yang lebih dari kata "bagus" maka umpatan lah yang keluar.
Saya cukup beruntung tinggal di jogja, bisa bertemu dengan luthier sekelas pak hadi. Lucy bukanlah gitar pertama saya, saya sudah memesan 3 gitar dan 1 bass di zianturi pada saat itu. Alasan saya memesan disana diawali dengan tidak puasnya saya dengan gitar-gitar yang dijual di toko buatan pabrik dan teman merekomendasikan ke custom gitar zianturi milik pak hadi. Selain hand made, mengenai konstruksi gitar dan kualitas kayu tidak usah dipertanyakan karena beliau sendiri pernah sekolah di Gibson Amerika.
Pada akhirnya sebuah instrumen memang seharusnya adalah bagian jiwa dari pemiliknya. Begitu sebuah instrumen dimainkan oleh pemiliknya, serasa instrumen itu memancarkan sinyal yang selaras dan jiwa pemilihnya, menyentuh hati, indah, mententramkan.
Saya hirup kembali kopi saya, memainkan All you need is love nya the beatles dan kembali tersenyum.
Kumainkan gitar akustikku satu dua lagu, suaranya padat, utuh, crunchy, dan yang membuatku heran adalah menyentuh hati, bukan karena saya memainkan karya masterpiece gran valsnya tarrega ataupun all you need is lovenya the beatles. Kusandarkan kembali gitarku dikursi, kupandangi, dan kembali kumainkan, dan ini membuatku tersenyum.
Saya jadi teringat pertama kali memesannya pada seorang luthier lokal (Yogyakarta), Pak Hadi namanya.
"mas, saya ada kayu bagus", pak hadi menawarkan
"kayu apa pak?" jawab saya
"kayu spruce mas" sambil menunjukkan 2 pasang kayu spruce bookmark (1 kayu yang dibelah jadi 2 yang bisa menghasilkan efek mirror jika digabungkan).
Saya tau apa artinya ini, saya belum pernah punya gitar dengan kayu solid spruce. Kayu spruce sendiri biasa dipakai untuk gitar-gitar akustik jenis klasik ataupun folk.
"bagus pak?" tanya saya
"istimewa mas"
"berapa harganya pak?"
Pak hadi menjelaskan jika kayu spruce sendiri memang agak mahal, dan beliau memberikan rincian biayanya untuk membuat satu gitar akustik zianturi.
Saya menyetujuinya. Esok hari nya saya datang kembali dengan membawa uang tanda jadi dan memberika detail gitarnya. Satu tahun kemudian gitar itu sudah bisa saya mainkan tepat pada sebuah acara akustik. Agak lama memang sampai gitar tersebut siap saya bawa pulang, tapi kondisi saya saat itu memang tidak terburu-buru (alias masih mengumpulkan dana...hehe).
Pada penampilan perdana gitar akustik saya yang ujung-ujungnya saya beri nama Lucy sangat memuaskan. Saya pasangkan senar darco ukuran 10, dan menghasilkan suara yang lebih bright. Sebelum acara dimulai, kebetulan teman saya juga ikutan perform pada acara itu. Dia melihat gitar saya. "ini gitarnya nya ya? yang pakai kayu spruce itu?" tanyanya. Saya mengangguk. "coba saja" tawar saya.
Dia mencobanya dua tiga lagu. "wah beda ya, enak dan nyaman banget, kaya gak mau lepas ini gitar" komentar dia. Saya hanya tersenyum bangga. Ujung-ujungnya, dia meminjam gitar saya untuk performnya malam itu.
Dua bulan pemakaian saya sudah menggunakannya buat recording. Dan saatnya mengganti senarnya, saya ganti senarnya dengan elixir nanoweb ukuran 12, mahal, tapi senar ini bisa long lasting. Saya coba dengan ukuran 12 untuk memperkuat tone dan suara bass punch nya lebih terasa. Saya bawa ke bengkel zianturi dan men setting necknya untuk disesuaikan dengan tegangan senar yang baru. Ternyata hasil lebih baik, suara jadi lebih maksimal, tone jadi kuat, bass mid dan treble lebih seimbang.
Lucy jadi andalan gitar andalan saya untuk murid-murid saya yang sedang belajar gitar dengan saya, baik kursus privat gitar akustik maupun kursus gitar elektrik. Dikarenakan lebih banyak murid saya yang les privat gitar dengan saya belajar gitar akustik dibanding elektrik, maka gitar akustik ini menjadi solusi. Dan kendala yang ditemui pada gitar akustik biasanya ketidak nyamanan intrumen gitar itu sendiri dikarena action pada gitar nya terlalu tinggi. (action=jarak senar dengan fret ke-12 yang terlalu tinggi). Sedangkan di gitar saya walaupun saya pasangi dengan ukuran 12 tidak jadi masalah bagi murid saya yang baru belajar gitar akustik.
Suatu kali seorang teman berkunjung kerumah. Dia juga seorang musisi. Gitaris juga. setelah berbincang-bincang sore itu, akhirnya dia melihat gitar saya yang baru, si Lucy. Dan mencobanya. Namun lucunya, teman saya ini tidak memainkan satu lagu penuh melainkan hanya memainkan satu akord berhenti diikuti dengan kata "bajigur" dari mulutnya, lalu kembali memainkan akord yang lain dan lagi-lagi diikuti kata "bajigur". Bajigur disini bukan berarti jenis minuman. Bajigur bagi orang jogja 'terkadang' sebagai umpatan atau bisa jadi pujian.
Contoh lainnya jika seseorang (jogja/jawa) menonton sebuah pertunjukan, dan orang tersebut mengapresiasikan takjub dengan kata "edan, apik tenan", Jika diartikan menjadi "Gilak, bagus sekali". Umpatan tadi jadi berganti arti sebagai pujian, dikarenakan orang-orang berpikir tak ada kata yang lebih dari kata "bagus" maka umpatan lah yang keluar.
Saya cukup beruntung tinggal di jogja, bisa bertemu dengan luthier sekelas pak hadi. Lucy bukanlah gitar pertama saya, saya sudah memesan 3 gitar dan 1 bass di zianturi pada saat itu. Alasan saya memesan disana diawali dengan tidak puasnya saya dengan gitar-gitar yang dijual di toko buatan pabrik dan teman merekomendasikan ke custom gitar zianturi milik pak hadi. Selain hand made, mengenai konstruksi gitar dan kualitas kayu tidak usah dipertanyakan karena beliau sendiri pernah sekolah di Gibson Amerika.
Pada akhirnya sebuah instrumen memang seharusnya adalah bagian jiwa dari pemiliknya. Begitu sebuah instrumen dimainkan oleh pemiliknya, serasa instrumen itu memancarkan sinyal yang selaras dan jiwa pemilihnya, menyentuh hati, indah, mententramkan.
Saya hirup kembali kopi saya, memainkan All you need is love nya the beatles dan kembali tersenyum.
Komentar
Posting Komentar